Sabtu, 15 September 2012

ASAL-USUL KOTA PALEMBANG

Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia berumur setidaknya 1382 tahun jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai prasasti Kedudukan Bukit. Menurut Prasasti yang berangka tahun 16 Juni 682. Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang sekarang dikenal sebagai kota Palembang.
Pada zaman dahulu, daerah Sumatra Selatan berupa hutan belantara. Puluhan sungai besar dan kecil yang berasal dari Bukit Barisan, pegunungan sekitar Gunung Dempo dan Danau Ranau mengalir di wilayah itu. Maka, wilayah itu dikenal dengan nama Batanghari Sembilan. Sungai besar yang mengalir di wilayah itu di antaranya Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai Rawas, dan beberapa sungai yang bermuara di Sungai Musi. Ada dua Sungai Musi yang bermuara di laut di daerah yang berdekatan, yaitu Sungai Musi yang melalui Palembang dan Sungai Musi Banyuasin agak di sebelah utara. Sedangkan kota Palembang yang dikenal sekarang menurut sejarah adalah sebuah pulau di Sungai Melayu. Pulau kecil itu berupa bukit yang diberi nama Bukit Seguntang Mahameru.
Di sepanjang wilayah itu dihuni oleh seorang dewi bersama dayang-dayangnya. Dewi itu disebut Putri Kahyangan. Sebenarnya, dia bernama Putri Ayu Sundari. Dewi dan dayang-dayangnya itu mendiami hutan rimba raya, lereng, dan puncak Bukit Barisan serta kepulauan yang sekarang dikenal dengan Malaysia. Mereka gemar datang ke daerah Batanghari Sembilan untuk bercengkerama dan mandi di danau, sungai yang jernih, atau pantai yang luas, landai, dan panjang.
Karena banyaknya sungai yang bermuara ke laut, maka pada zaman itu para pelayar mudah masuk melalui sungai-sungai itu sampai ke dalam, bahkan sampai ke kaki pegunungan, yang ternyata daerah itu subur dan makmur. Maka terjadilah komunikasi antara para pedagang termasuk pedagang dari Cina dengan penduduk setempat. Daerah itu menjadi ramai oleh perdagangan antara penduduk setempat dengan pedagang. Akibatnya, dewi-dewi dari kahyangan merasa terganggu dan mencari tempat lain.
Alkisah ketika Putri Ayu Sundari dan pengiringnya masih berada di Bukit Seguntang Mahameru, ada sebuah kapal yang mengalami kecelakaan di pantai Sumatra Selatan. Tiga orang kakak beradik itu adalah putra raja Iskandar Zulkarnain. Mereka selamat dari kecelakaan dan terdampar di Bukit Seguntang Mahameru. Mereka disambut Putri Ayu Sundari. Putra tertua Raja Iskandar Zulkarnain, Sang Sapurba kemudian menikah dengan Putri Ayu Sundari dan kedua saudaranya menikah dengan keluarga putri itu. Sang Sapurba adalah pewaris terakhir Kerajaan Sriwijaya. Dia punya ambisi memelihara kebesaran kerajaan itu. Maka dia menjelajahi semua bekas kerajaan yang sudah mulai terpecah-belah. Dia melakukan perjalanan mulai dari Palembang, Tanjung Pura sampai ke Lingga dan Bintan, lalu masuk Sungai Kuantan sampai ke Minangkabau. Setiap daerah yang dilaluinya menyatakan sembah setia sebagai rakyatnya.

Sriwijaya adalah kerajaan maritim terbesar di Nusantara, yang berjaya hampir lebih dari 300 tahun. Karena itu kebesaran Sriwijaya yang disangkutkan di bahu kekuasaan Sang Sapurba, menimbulkan bayangan bahwa Sang Sapurba tidak lagi sebatas manusia biasa, walaupun masa itu, alam Melayu sudah mulai mendapat sinar cahaya Islam. Tak heran, jika Sang Sapurba-lah Raja Melayu yang mendapat panggilan Yang Dipertuan sementara rakyat menyebut dirinya Patik, yang berarti anak anjing yang belum celak (pecah matanya).
Sang Sapurba harus tampil punya kelebihan daripada orang kebanyakan bahkan dengan kemegahan yang luar biasa. Dia harus menakjubkan dari segala penjuru kehadirannya. Pada masa dulu, sebelum agama Islam dominan dalam dunia Melayu, kehebatan kekuasaan raja ditampilkan dengan bahasa kesaktian. Sementara setelah Islam bersemi, kelebihan manusia karena berkat kesalehannya disebut dengan kata keramat (karomah).
Ketika Sang Sapurba dengan saudaranya turun dari Bukit Siguntang Mahameru pada malam hari, maka tampak bernyala-nyala seperti api di atas bukit itu. Setelah hari siang, dua orang yang membuat huma (ladang) yakni Wan Empuk dan Wan Malini, melihat padinya berbuahkan emas, berdaun perak serta berbatang tembaga. Inilah buktinya dalam bayangan mitos, betapa Sang Sapurba, bukanlah anak raja sembarang raja.
Kesaktian Sang Sapurba lebih mengherankan lagi. Betapa tidak, semua anak gadis putri raja yang dikawininya malam hari, akan kena kedal tulah (seperti kena campak) pada pagi harinya. Sewaktu rombongannya kekurangan air minum di muara Sungai Kuantan (Sapat) maka Sang Sapurba mencelupkan kakinya ke dalam air masin, lalu kemudian air berubah menjadi tawar. Lalu yang ke lima Sang Sapurba menampilkan kekuatan semangat jiwanya dengan membunuh ular Saktimuna di Kuantan. Ular ajaib itu tidak perlu dibunuh selalui tangan sang raja. Cukup memakai kerisnya yang bernama Corek Semandang Kini. Setelah dipakai oleh hulubalang Permasku Mambang keris itu, maka ditetaknya penggal tiga ular itu, lalumati.
Maka Demang Lebar Daun sebagai seorang Raja Palembang ketika itu, juga khawatir jika putrinya Wan Sendari dipersunting oleh Sang Sapurba akan kena kedal pula. Maka Demang Lebar Daun meminta Sang Sapurba bersedia berwadat (bersumpah) sebelum mengawini putrinya. Maka ujudlah sumpah Sang Sapurba dengan Demang Lebar Daun yakni Raja Sang Sapurba dan anak keturunannya tidak akan menghina rakyat, sedangkan rakyat Melayu di pihak Demang Lebar Daun, tidak akan durhaka kepada raja. Maka sejak sumpah itu,Sang Sapurba dipanggil dengan Yang Dipertuan dan rakyat menyebut dirinya Patik. Sang Sapurba hanya dapat membunuh rakyatnya, jika melakukan dosa besar dan  memakai hukum syarak.
Maka terjadilah keajaiban setelah bersumpah-sumpahan atas nama Allah itu. Ternyata Wan Sendari setelah menjadi permaisuri Sang Sapurba, tidak kena kedal tulah. Maka amatlah sukacita Demang Lebar Daun. Diresmikanlah oleh Demang Lebar Daun, Sang Sapurba menjadi Yang Dipertuan untuk seluruh tanah Melayu, sedangkan dia bertindak sebagai mangkubumi.
Karena Bukit Seguntang Mahameru berdiam di Sungai Melayu, maka Sang Sapurba dan istrinya mengaku sebagai orang Melayu. Anak cucu mereka kemudian berkembang dan ikut kegiatan di daerah Lembang. Nama Lembang semakin terkenal. Kemudian ketika orang hendak ke Lembang selalu mengatakan akan ke Palembang. Pertumbuhan ekonomi semakin ramai. Sungai Musi dan Sungai Musi Banyuasin menjadi jalur perdagangan kuat terkenal sampai ke negara lain.
Sementara itu, orang-orang banyak datang di sekitar Sungai Musi dan Sungai Melayu tempat Bukit Seguntang Mahameru untuk membuat rumah di sana. Karena Sumatra Selatan merupakan dataran rendah yang berawa, maka penduduknya membuat rumah yang disebut dengan rakit.
Oleh karena itu, orang yang telah bermukim di Sungai Melayu, terutama penduduk kota Palembang, sekarang menamakan diri sebagai penduduk Sungai Melayu, yang kemudian berubah menjadi penduduk Melayu. Berkemungkinan karena kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan menurut bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng adalah genangan air.
ANALISIS POLA PERILAKU MASYARAKAT YANG BERKEMBANG DI KOTA PALEMBANG
  • Sifat Kelompok dan Sistem Pimpinan berupa organisasi yang tidak sengaja ,terbentuk karena ikatan alamiah  dan ikatan keturunan yang mengikat warganya  dengan adat istiadat  dan sistem norma  dalam  kurun waktu yang lama.
  • Satuan sosial dalam masyarakat bersifat Colectivity Ethnic Group.
  • Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990). Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh air.Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang Palembang menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau dan punya kecepatan yang tinggi. Selain kondisi alam, juga letak strategis kota ini yang berada dalam satu jaringan yang mampu mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah. Ketiga kesatuan wilayah tersebut merupakan faktor setempat yang sangat menentukan dalam pembentukan pola kebudayaan yang bersifat peradaban.
  • Kehidupan Beragama Pembangunan bidang agama merupakan pembangunan yang membentuk mental spiritual, budi pekerti, keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bidang ini sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat karena bisa berfungsi sebagai filter dari pengaruh budaya luar terutama dalam menghadapi kecenderungan globalisasi yang semakin meningkat. Kepercayaan dan agama penduduk Kota Palembang beragam, namun mayoritas warga masyarakat memeluk agama Islam. Warga asli Palembang yang sering dikenal dengan istilah ‘Wong Palembang’ mayoritas beragama Islam.
  • Kebudayaan Sebagai kota maritim sejak zaman Sriwijaya dan sebagai ibukota provinsi, Kota Palembang sejak dulu telah menjadi melting pot berbagai suku atau etnis dari manca negara maupun dari dalam negeri sendiri.
  • Drama tradisional yang populer di Palembang dan pada umumnya di Sumatera Selatan, yaitu Dulmuluk. Kesenian ini biasanya berlangsung selama semalam suntuk. Dulmuluk sebagai seni drama tradisional bersumber dari kisah-kisah 1001 malam dan sangat digemari masyarakat. Adapun bentuk tarian rakyat lain yang berkembang antara lain Tari Gending Sriwijaya yang diciptakan pada zaman Jepang dan Tari Dana.
  • Adat pernikahan yang khas, walaupun pada saat ini sudah banyak bagian-bagian dari adat tersebut yang ditinggalkan. Secara keseluruhan tahap-tahap dalam adat pernikahan Palembang meliputi 10 tahapan, antara lain: madik, menyenggung, melamar, sekali lagi keluarga laki-laki mengirim utusan ke keluarga perempuan, memutus kato, ngulemi besan, upacara akad nikah, nganter keris, ngocek bawang, dan munggah pengantin.
  • Rumah Adat Rumah adat Palembang adalah rumah Limas, yang mengandung pengertian lima emas, ”Di mana emas pertama hingga emas kelima merupakan simbol norma-norma masyarakat, yaitu keanggunan dan kebenaran, rukun damai, sopan santun, aman sentosa, serta makmur dan sejahtera.”
  • Bahasa Bahasa pengantar yang banyak dipergunakan antar suku yaitu Bahasa Palembang yang berakar dari bahasa Melayu.
  • Adanya Akulturasi dan Asimilasi kebudayaan Melayu dengan Jawa. Kebudayan agama Hindu-Budha dengan Islam.
  • Dalam proses sosial ini dapat melahirkan Solidaritas sosial dalam bentuk tata nilai yang melembaga dalam masyarakat .
  • Adanya Polarisasi permukiman berdasarkan kelompok etnis tertentu dan atau adanya kelas sosial tertentu dapat membentuk proses sosial dan dinamika masyarakat, baik yang sifatnya asosiatif maupun yang disasosiatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar