PELANCONG sejati tidak akan melewatkan negaranya sendiri. Pikiran ini yang kerap mendorong petualang untuk mencoba berbagai rute perjalanan di dalam negeri. Dan memang benar, selalu ada kejutan di pojok-pojoknya.
Sama seperti perjalanan ke Natuna. Perjalanan ini sebenarnya perjalanan tugas meliput TNI AU latihan. Namun, ada daya tarik lain karena tempatnya di Natuna, kepulauan yang terpatri di ingatan saya sejak sering bermain peta buta di sekolah dasar.
Natuna seperti pulau tersendiri yang terpencil jauh dari pulau-pulau lain. Letaknya di antara Kalimantan dan Sumatera, tetapi jauh di utara. Berbagai cerita tentang pulau ini melintas di berbagai zaman, mulai dari kisahnya diakui sebagai wilayah Indonesia, minyak dan gas alam yang berlimpah, hingga cita-cita negara asing untuk bercokol di sana. Belakangan saya tahu, Natuna ternyata sebuah kepulauan. Jumlah pulaunya ada 272. Bayangkan, ada berapa kemungkinan pantai eksotis di tengah Laut China Selatan ini.
Berangkat dari Jakarta dengan penerbangan langsung alias menumpang Hercules TNI AU, perjalanan memakan waktu tidak sampai tiga jam. Sayangnya, tidak ada penerbangan komersial yang langsung, semua harus transit di Batam sehingga total penerbangan bisa 4-6 jam.
Tiba di lapangan terbang Ranai, udara segar tanpa polusi dan padang rumput hijau menyambut. Mata dimanjakan oleh daerah terbuka. Air jernih dan, konon, belut-belut melimpah untuk panen pada musim hujan. Birunya langit cerah membuat suasana hati juga jadi cerah. Gunung Ranai yang menjulang tampak gagah di tengah pulau. Konon, kalau ada tanda-tanda kabut di gunung ini, nelayan enggan berlayar.
Kebanyakan warga Natuna adalah orang Melayu. Salah satu makanan yang khas adalah kerang yang dimakan dengan sambal calok—cabai dan irisan udang yang superpedas. Uniknya, ada beberapa angkringan ala Jawa di Ranai. Malam-malam, orang-orang banyak berkumpul di warung dan disko dangdut.
Di sela-sela latihan pesawat tempur yang menggelegar, kami sempat berjalan-jalan keluar Kota Ranai. Di kejauhan tampak Masjid Agung yang megah seperti Taj Mahal. Es kelapa muda mulai membayang saat disebut soal wisata pantai. Sayangnya, kami tidak ke Pasar Penagih yang letaknya menjorok ke tengah laut dan terkenal dengan benda-benda keramiknya. Berbagai cerita rakyat menonjol dengan mitos mistisnya. Salah satu yang paling terkenal adalah kehadiran makhluk halus yang jumlahnya sekampung!
Batu besar
Seperti kota-kota di pinggir pantai, tepi jalan di luar Kota Ranai diwarnai dengan pohon-pohon kelapa. Bayangan pasir putih yang indah dengan pantai yang bersih menerpa pikiran. Tapi, kok, sepanjang jalan banyak batu-batu andesit superbesar. Beberapa bahkan lebih tinggi dari 4 meter. Mobil lalu berbelok ke arah pantai. Pasir pantai itu memang putih, tetapi yang menarik adalah batu-batunya.
Tempat itu disebut sebagai Alif Stone, dengan batu-batu sebesar rumah, bahkan aula tersebar di sebuah lokasi pantai. Pemandangan jadi luar biasa unik. Sebuah pojok pantai di Pulau Natuna yang memberi kesan jauh di antah berantah. Bisa diduga, rombongan panik untuk berfoto. Mulai dari wartawan sampai Marsekal Pertama berpose dengan latar batu-batu yang bentuknya berbeda. Beberapa batu bisa dinaiki sampai ke puncaknya. Ada juga yang mengambil jalan memutar, menaiki bukit di tepi pantai untuk melihat bongkahan-bongkahan batu dari atas.
Waktu sudah lepas sore ketika hiruk-pikuk itu berakhir. Beberapa sudah duduk kelelahan di kerimbunan pohon kelapa. Rasa dahaga mulai menyerang. Jangankan es kelapa muda yang dinanti, air putih pun tidak mudah didapatkan di tempat wisata yang bagai intan belum terasah ini.
Ada menit-menit yang paling penting dari sebuah perjalanan, yaitu saat kita berdiam diri dan menikmati kesendirian. Sama seperti sore itu, saat batu-batu besar menjadi latar bertemunya semburat jingga matahari dan biru jernihnya Laut China Selatan. (Edna C Pattisina)
Sama seperti perjalanan ke Natuna. Perjalanan ini sebenarnya perjalanan tugas meliput TNI AU latihan. Namun, ada daya tarik lain karena tempatnya di Natuna, kepulauan yang terpatri di ingatan saya sejak sering bermain peta buta di sekolah dasar.
Natuna seperti pulau tersendiri yang terpencil jauh dari pulau-pulau lain. Letaknya di antara Kalimantan dan Sumatera, tetapi jauh di utara. Berbagai cerita tentang pulau ini melintas di berbagai zaman, mulai dari kisahnya diakui sebagai wilayah Indonesia, minyak dan gas alam yang berlimpah, hingga cita-cita negara asing untuk bercokol di sana. Belakangan saya tahu, Natuna ternyata sebuah kepulauan. Jumlah pulaunya ada 272. Bayangkan, ada berapa kemungkinan pantai eksotis di tengah Laut China Selatan ini.
Berangkat dari Jakarta dengan penerbangan langsung alias menumpang Hercules TNI AU, perjalanan memakan waktu tidak sampai tiga jam. Sayangnya, tidak ada penerbangan komersial yang langsung, semua harus transit di Batam sehingga total penerbangan bisa 4-6 jam.
Tiba di lapangan terbang Ranai, udara segar tanpa polusi dan padang rumput hijau menyambut. Mata dimanjakan oleh daerah terbuka. Air jernih dan, konon, belut-belut melimpah untuk panen pada musim hujan. Birunya langit cerah membuat suasana hati juga jadi cerah. Gunung Ranai yang menjulang tampak gagah di tengah pulau. Konon, kalau ada tanda-tanda kabut di gunung ini, nelayan enggan berlayar.
Keindahan obyek wisata Alif Stone Park di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau.Para wartawan menginap di Penginapan Batu Hitam, Ranai. Tidak ada hotel besar di Ranai. Rata-rata hanya penginapan seadanya dengan harga sekitar Rp 300.000 per malam. Uniknya, di belakang hotel ini ada pantai yang jadi tempat wisata orang-orang Ranai. Pagi-pagi, orang-orang bergerombol di tepi pantai hanya untuk duduk dan mengobrol. Anekdot yang beredar, beberapa ikan bisa ditangkap untuk makan siang, saat ngopi-ngopi pagi hari.
Kebanyakan warga Natuna adalah orang Melayu. Salah satu makanan yang khas adalah kerang yang dimakan dengan sambal calok—cabai dan irisan udang yang superpedas. Uniknya, ada beberapa angkringan ala Jawa di Ranai. Malam-malam, orang-orang banyak berkumpul di warung dan disko dangdut.
Di sela-sela latihan pesawat tempur yang menggelegar, kami sempat berjalan-jalan keluar Kota Ranai. Di kejauhan tampak Masjid Agung yang megah seperti Taj Mahal. Es kelapa muda mulai membayang saat disebut soal wisata pantai. Sayangnya, kami tidak ke Pasar Penagih yang letaknya menjorok ke tengah laut dan terkenal dengan benda-benda keramiknya. Berbagai cerita rakyat menonjol dengan mitos mistisnya. Salah satu yang paling terkenal adalah kehadiran makhluk halus yang jumlahnya sekampung!
Batu besar
Seperti kota-kota di pinggir pantai, tepi jalan di luar Kota Ranai diwarnai dengan pohon-pohon kelapa. Bayangan pasir putih yang indah dengan pantai yang bersih menerpa pikiran. Tapi, kok, sepanjang jalan banyak batu-batu andesit superbesar. Beberapa bahkan lebih tinggi dari 4 meter. Mobil lalu berbelok ke arah pantai. Pasir pantai itu memang putih, tetapi yang menarik adalah batu-batunya.
Tempat itu disebut sebagai Alif Stone, dengan batu-batu sebesar rumah, bahkan aula tersebar di sebuah lokasi pantai. Pemandangan jadi luar biasa unik. Sebuah pojok pantai di Pulau Natuna yang memberi kesan jauh di antah berantah. Bisa diduga, rombongan panik untuk berfoto. Mulai dari wartawan sampai Marsekal Pertama berpose dengan latar batu-batu yang bentuknya berbeda. Beberapa batu bisa dinaiki sampai ke puncaknya. Ada juga yang mengambil jalan memutar, menaiki bukit di tepi pantai untuk melihat bongkahan-bongkahan batu dari atas.
Bongkahan batu-batu granit besar yang menghiasi pesisir pantai di Kepulauan Natuna.Berbagai bentuk batu andesit memberikan keindahan yang tak biasa. Dengan latar air yang bening, matahari yang cerah, pemandangan batu andesit berbentuk jamur, beberapa puluh meter ke arah laut menjadi latar foto yang diperebutkan. Ada juga jembatan kayu yang menghubungkan tiga batu besar yang berpusat di satu gundukan kecil di tengah. Ibarat, berada di pusat semesta.
Waktu sudah lepas sore ketika hiruk-pikuk itu berakhir. Beberapa sudah duduk kelelahan di kerimbunan pohon kelapa. Rasa dahaga mulai menyerang. Jangankan es kelapa muda yang dinanti, air putih pun tidak mudah didapatkan di tempat wisata yang bagai intan belum terasah ini.
Ada menit-menit yang paling penting dari sebuah perjalanan, yaitu saat kita berdiam diri dan menikmati kesendirian. Sama seperti sore itu, saat batu-batu besar menjadi latar bertemunya semburat jingga matahari dan biru jernihnya Laut China Selatan. (Edna C Pattisina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar