Selasa, 27 Mei 2014

Dengan Merekayasa Fotosintesa Tanaman, Para ilmuwan Berupaya Memproduksi Biofuel yang Ekonomis

Selama bertahun-tahun para peneliti telah mencoba untuk mencari tahu cara terbaik untuk membuat tanaman menghasilkan biofuel. Tapi ada masalah mendasar yaitu proses fotosintesis, proses dimana tanaman mengkonversi sinar matahari menjadi energi kimia yang tersimpan, sangatlah tidak efisien. Tanaman mengubah hanya 1 sampai 3 persen dari sinar matahari menjadi karbohidrat. Itulah salah satu alasan mengapa begitu banyak lahan harus dikhususkan untuk menanam jagung demi mengembangkan etanol untuk biofuel. Namun tanaman juga memiliki banyak keuntungan: mereka menyerap karbon dioksida pada konsentrasi rendah secara langsung dari atmosfer, selain itu masing-masing sel tumbuhan dapat memperbaiki dirinya sendiri ketika rusak.
Para ilmuwan telah memulai upaya baru untuk merekayasa fotosintesis dan membantu umat manusia untuk membuat bahan bakar hijau. U.S. Advanced Research Projects Agency for Energy, atau yang dikenal sebagai ARPAe, sejauh ini telah mendanai 10 proyek, yang sebagian besar menggunakan rekayasa genetika untuk merekayasa instruksi dalam DNA tanaman yang mengatur pertumbuhan, pigmen, dan sejenisnya. Hibah terbesar (lebih dari $ 6 juta) diperoleh University of Florida untuk membuat pohon pinus agar dapat menghasilkan terpentin lebih banyak, sehingga menjadi bahan bakar yang potensial. Proyek lain, bertujuan untuk mendorong menginduksi rumput-rumput yang dapat tumbuh cepat seperti switchgrass agar dapat menghasilkan minyak nabati untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Di masa depan, para insinyur emungkinan dapat membuat tanaman hitam yang mampu menyerap semua sinar matahari yang masuk dengan panjang gelombang cahaya yang berbeda-beda untuk melakukan fotosintesis. Tanaman sekarang hanya mampu menggunakan satu panjang gelombang tertentu untuk melakukan fotosintesa.Tanaman yang direkayasa untuk memproduksi biofuel bahkan mungkin dapat dibuat agar memiliki daun yang lebih kecil sehingga mengurangi energi yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan, atau bahkan dapat dibuat agar tidak lagi menyimpan energi sebagai gula tetapi mengubahnya secara langsung menjadi molekul hidrokarbon untuk digunakan manusia sebagai bahan bakar.
Para ilmuwan dalam program ini memberi julukan PETRO, bagi tanaman yang direkayasa untuk menggantikan minyak.  Untuk mewujudkan hal ini para ilmuwan harus menghadapi tantangan pasokan air yang semakin terbatas untuk tanaman dan skeptisisme publik terhadap organisme dimodifikasi secara genetik. Mereka juga akan menghadapi persaingan karena adanya upaya untuk menggantikan fotosintesis sama sekali, seperti program Electrofuels yang diluncurkan ARPA-e sendiri.  Program Electrofuels bertujuan untuk menginduksi mikroba sehingga mampu menghasilkan hidrokarbon. Selain itu terdapat pula upaya untuk menciptakan daun buatan yang menggunakan listrik dari sel surya untuk memecah air menjadi oksigen dan hidrogen sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar.  Bagi tanaman kini, sekedar menjadi hijau tidak lagi cukup.

Saturday, January 2, 2010


Apakah Dark Matter Memiliki Dampak pada Planet?

Di alam semesta, dark matter (materi gelap) lima kali lebih melimpah dibandingkan dengan materi normal. Tapi, dark matter menjadi teka-teki karena dark matter tidak terlihat dan dapat menembus materi normal. Para astronom mengidentifikasi dark matter dari gravitasi yang dihasilkannya. Gravitasi dark mattermenjaga galaxy agar tidak tercerai berai.Selain itu, dark matter dapat memberikan efek yang terukur pada tata surya kita.

Secara khusus, peneliti harus menargetkan Bumi dan bulan, ujar fisikawan Stephen Adler dari Institute for Advanced Study di Princeton. Massa bumi dan bulan akan lebih besar jika diukur bersama dibandingkan jika keduanya diukur secara terpisah. Hal ini terjadi karena adanya halo dark matter diantara keduanya. Adler mencapai kesimpulan ini setelah ia mengukur massa bulan dengan lunar orbiters dan massa Bumi dengan LAGEOS. LAGEOS merupakan nama satelit yang dipergunakan untuk melakukan survey geodesi. Laser yang ditembakkan ke satelit menunjukkan besar jari-jari orbit masing-masing satelit dan berapa lama waktu yang diperlukan oleh masing-masing satelit untuk menyelesaikan orbitnya. Dari pengukuran tersebut, para ilmuwan dapat menghitung besarnya gravitasi yang menarik satelit dan besar massa yang menyebabkan gaya gravitasi tersebut.

Selanjutnya, Adler memeriksa penelitian yang mengukur jarak dari bumi ke bulan. Penelitian ini dilakukan dengan memantulkan sinar laser pada cermin yang ditanam di Bulan oleh misi Apollo. Jika Bumi memberikan gaya tarik yang lebih kuat kuat pada bulan (kira-kira 384.000 kilometer dari Bumi) daripada pada satelit LAGEOS (kira-kira 12.300 kilometer dari Bumi) maka, gaya tarik tambahan ini disebabkan oleh halo dark matterantara bulan dan satelit. Berdasarkan data saat ini, Adler memperkirakan bahwa terdapat paling banyak 24 triliun metrik ton dark matter di antara bumi dan bulan.

Adler juga berspekulasi bahwa dark matter bisa memberikan efek dramatis pada Jupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus. Keempat planet ini mayoritas tersusun atas gas. Jika gravitasi dari planet-planet besar ini menarik dark matter maka, partikel-partikel dark matterbisa menembus ke dalamnya. Walaupun peristiwa ini langka, tapi peristiwa ini cukup untuk memanaskan bagian dalam planet-planet ini. Hal ini dapat menjelaskan mengapa bagian dalam planet-planet ini lebih panas dibandingkan dengan penjelasan teoritis. Hal ini mungkin juga dapat menjelaskan dinginnya Uranus. Anomali pada planet Uranus mungkin disebabkan oleh tumbukan kolosal. Adler menduga bahwa tumbukan ini telah menyingkirkan sebagian besar dark matter yang telah memanaskan Uranus.

Kemungkinan pemanasan Planet oleh dark matter mungkin juga dapat memberikan petunjuk mengenai sifat-sifat dark matter yang belum diketahui. Misalnya, seberapa seringdark matter bertabrakan dengan materi normal, atau, apakah dark matter bergumpal di sekitar bintang dan planet-planet dan tidak menyebar secara merata di seluruh galaksi, komentar astrofisikawan teoretis Ethan Siegel dari University of Portland. Jika partikel dark matter merupakan antipartikel mereka sendiri, seperti yang diteorikan oleh beberapa ilmuwan maka, energi yang dilepaskan ketika mereka membinasakan diri mereka sendiri akan memanaskan planet jauh lebih dari sekadar tumbukan dengan atom. Skenario semacam itu bermakna bahwa dark matter tidak mungkin bergumpal dalam tata surya kita, karena jika demikian tata surya akan jauh lebih panas.

Astrofisika Annika Peter dari California Institute of Technology bersikap skeptis akan kemungkinan bahwa dark matter dapat mempengaruhi panas dari planet. Menurutnya, proses ini akan membutuhkan jumlah dark matter yang luar biasa banyak. Astronom Andrew Gould dari Ohio State University meragukan bahwa terdapat banyak gumpalan dark matter dalam tata surya kita. Ia berpendapat bahwa interaksi gravitasi dengan planet-planet akan menyingkirkan sebagian besar dark matter. Hal serupa terjadi ketika planet-planet menyingkirkan materi normal yang berada dalam tata surya kita. Namun, Siegel berpikir bahwa ketika sistem tata surya bergerak dalam galaksi dapat terjadi proses accretion. Proses accretion dalam hal ini adalah terjadinya penambahan dark matter akibat gaya tarik gravitasi.

Sampai sekarang keberadaan dark matter tetap misterius. Adler berpendapat bahwa akan sangat menarik jika terdapat halo dark matter di sekitar Bumi. Hal ini akan serupa dengan keberadaan sabuk Van Allen, atau cincin di sekitar Saturnus. Dengan demikian para peneliti akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengungkap misteri dari dark matter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar